Untuk kesekian kalinya saya
didapuk jadi KPPS lagi di Kampung saya – Karangturi Baturetno.
Sebelum-sebelumnya memang saya selalu diajak ikut untuk jadi panitia pemungutan
suara. Entah untuk pemilihan calon legislative, Presiden, atau bahkan di tingkat
kelurahan untuk memilih Kepala Desa. Yah biasalah jadi wakil pemuda kampung,
maklumlah saya orang yang gk neko-neko dan lempeng-lempeng aja :D.
Pemilu yang baru saja dilangsungkan (9 April 2014) tak beda jauh dengan pemilihan calon legislative pemilu sebelumnya. Pemilu untuk memilih wakil rakyat yang duduk di tingkat pusat (DPR), Provinsi (DPRD I), Kabupaten (DPRD II), dan DPD. Cuma yang menjadi kendala adalah bagi pemilih yang sudah tua dan tidak bisa membaca aka buta huruf. Rata-rata mereka memilih gambar partainya bukan calegnya langsung. Kartu suara yang gugur atau tidak sah, wajar pasti ada.
Permasalahan klasik yang selalu
saja ada di setiap pemilu diselenggarakan adalah kurangnya sosialisasi atau kurang
aktifnya pemilih untuk mengetahui bagaimana cara mencoblos atau berkenaan dengan
penggunaan hak pilihnya. Misalnya seperti, boleh tidak pemilih yang tidak ber-KTP
setempat menggunakan hak pilihnya. Nah inilah, akhirnya kami para KPPS “terpaksa”
menolak mereka, soalnya pengurusan masalah itu harusnya bisa jauh-jauh hari
dengan meminta lembar di kelurahan sebagai surat pengantar. Dikumpulkan sebelum
jam 12.00 WIB dan penggunaan hak pilihnya setelah jam 12.00 WIB. Nanti masuk
dalam DPT tambahan.
Waktu itu saya ditugaskan dibagian
mengarahkan pemilih mana bilik yang kosong. Jadi ya… cuma duduk dan memantau
pemilih sudah atau belum dalam menggunakan hak pilihnya. Kalau sudah saya
bilang “Berikutnya, bilik 1 kosong”. Kemudian bagian pendataan memanggil
pemilih untuk diberi lembar surat suara kemudian masuk ke bilik suara dan
mencoblos.
Sebenarnya saya juga tidak 100%
duduk, kadang berdiri mondar-mandir untuk mengurangi kebosanan. Yah bisa
dibayangin aja, saya duduk di tengah-tengah TPS apa gk tengsin saya. Saya yang
cakep, tidak sombong, baik hati, suka menabung, belum nikah lagi, pasti jadi
POI (Point Of Interest) para warga, hahahaha…. santai Bro.
Ketua KPPS TPS 27 Bp Nurjani membuka jalannya pemungutan suara.
Di TPS kami selesai melakukan
penghitungan suara kira-kira Magrib dan Isya dilakukan rekap data kemudian
menyalin ke lembar C1 yang lumayan banyak. Masing-masing untuk DPR, DPD, DPRD
I, dan DPRD II. Lumayan “njlimet” (rumit) butuh konsentrasi ekstra. Bapak-bapak
KPPS yang sudah lumayan berumur memang sudah “pasrah” dan berujar.
“Wah pemilu depan sepertinya saya
angkat tangan. Saatnya yang muda-muda ambil bagian”.
Saya saja yang masih muda
merasakan kelelahan yang teramat sangat. Kaki pegel, mata ngantuk, berkali-kali
menguap. Tidak heran jika untuk KPPS pun diadakan cek kesehatan. Tapi sebenarnya
cek kesehatan cuma teori saja, kenapa?. Saya datang ke Puskesmas cuma di kasih
lembar bukti Surat Keterangan Dokter (SKD), tidak dicek sama sekali cuma
formalitas surat yang sudah ditanda tangani oleh Dokter. Tidak heran jika ada
berita, seorang anggota KPPS meninggal akibat kelelahan mengurusi surat suara.
Nah, kalau kejadian seperti itu nanti siapa yang disalahkan?. Apakah yang
meninggal itu benar-benar sudah dicek kesehatannya? nah…
M. Nurlianto, seorang penyandang tuna rungu di kampung kami sesaat setelah menggunakan hak pilihnya.
Kami selesai menjalankan tugas
sebagai KPPS jam 23.30 WIB, itu juga sudah mengembalikan perlengkapan meja
kursi yang dipinjam dari SD sebelah. Jadi jam 24.00 WIB saya sudah bisa rebahan
di kamar dan sudah menerima honor juga. Honornya lumayan, bisa buat PP Jogja –
Jakarta naik KA Ekonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar